Retrospektif Sinema Indonesia

dan Potensi Visual yang Jujur

Kresna Adetea
3 min readFeb 26, 2018
Source: filmbor.com

SEBAGAI bagian dari entitas kebudayaan populer, film telah menjadi bagian sekaligus mengontruksi ingatan kolektif. Sejarah dan identitas turut berpendar di atas layar sinema. Bukan lagi tontonan yang berangkat dari keresahan dan idealisme sang sineas semata. Namun, film kini telah menjelma menjadi pameran visual yang lebih eksploratif serta mampu menuntun penonton ke kiblat yang lebih kritis terhadap kesenjangan isu-isu sosial yang acap kali terjadi di dua dekade terakhir ini.

Kembali tepat ke era rezim Soeharto–antara tahun delapan puluh sampai sembilan puluhan–dimana perkembangan film di Indonesia mengalami kolaps yang amat pahit. Insan perfilman Indonesia seakan tak bisa bergeming menghadapi pasar arus film global. Ditambah lagi banyaknya polemik di industri film negeri ini yang amatlah kompleks. Mulai dari persoalan dana, sumber daya profesi ahli di bidangnya, hingga yang paling krusial adalah perihal kebijakan pemerintah yang saat itu sulit untuk terbuka dan terkesan represif tentang konsep-konsep tema cerita yang ada. Persoalan semacam itulah yang menyebabkan jarak yang nyata antara film, bioskop, dan para penikmat film itu sendiri.

Pada dasarnya film hanyalah konsensus antara imajinasi dan logika cerita yang bermuara pada ciptaan visual yang megah dan terkadang adiktif. Peran adiktif ini bukan semata merupakan dampak dari sebuah bentuk film yang sewajarnya disikapi secara negatif. Namun, lebih menjurus kepada respon penikmat film atau sekadar penonton yang merasa kuriositasnya terpacu lebih intens dengan hal-hal yang bisa saja relevan dengan poin dan inti dari sebuah film. Sampai sejauh pada masa itu, sayangnya film-film yang ada belum mampu memenuhi ekspetasi dan memiliki peran adiktif bagi penikmatnya.

Film yang hebat lahir dari tangan-tangan superior sineas yang berani dan memiliki pakem kuat tentang tema apa yang sedang digelar. Sejak pergantian rezim yang ditandai dengan gerakan reformasi yang berujung dengan tumbangnya Soeharto pada tahun 1998. Atmosfir kebebasan semakin terasa, dan tonggak perubahan warna film-film di Indonesia mulai berevolusi. Kesan reseptif dan pengambilan pendekatan yang eksperimental coba diterapkan oleh para sineas muda pada saat itu. Mereka tak lagi gelisah mengangkat tema yang relevan dengan realitas dan palung suram kehidupan masyarakat Indonesia. Sempat mati suri di era Soeharto, di awal tahun 2000, industri perfilman Indonesia mulai bangkit kembali. Bisa dilihat dari kiprah sutradara berambut ikal dan kacamata ikoniknya, Riri Riza, debut pertamanya menggarap film Petualangan Sherina sukses membawa angin segar bagi industri film di negeri ini. Kemudian kembali dipercaya menjadi sutradara di film Gie pada tahun 2005.

Tepat tahun lalu iklim perfilman di Indonesia menjadi sangat kondusif, bukan hanya karena jumlah film Indonesia yang setiap waktu terus bertambah dan merajai entri bioskop. Namun, juga munculnya film-film baru yang berkualitas dari sisi tema dan gaya sinematografi. Terpampang nyata pelbagai film di Indonesia telah gemilang di kancah festival film mancanegara. Bersama dengan munculnya nama-nama baru sineas muda yang sedikit idealis pun turut mencuri perhatian khalayak.

Yosep Anggi Noen dengan filmnya Istirahatlah Kata-kata atau BW Purba Negara dengan film Ziarah telah sukses di pelbagai ajang festival nasional dan internasional adalah sedikit potret bagaimana industri perfilman negeri ini berkembang. Genre-genre yang ada pun semakin beragam. Mulai dari komedi–kiranya tetap dan akan terus mendominasi, drama horror, atau pun roman tetap menjadi kegemaran penikmat film Indonesia. Yang membuat industri film semakin meriah, tak hanya film-film buatan rumah produksi mayor yang berhasil mencuri perhatian, film-film independen pun turut mencuri pasar di tengah deru sepak terjang film-film mancanegara.

Dengan bangkitnya industri film di era milenial ini, sekiranya akan lebih berpotensi menjadi media literasi visual yang efektif untuk generasi kita di luar sana yang masih buta dengan sejarah, sosial-politik maupun fenomena tabu lain yang penting untuk diimplementasikan ke dalam entitas visual yang jujur. Lokakarya yang bersifat elaboratif melalui media film juga harus banyak digelar. Diskusi-diskusi tentang isu zaman yang terkait dengan topik film juga tak kalah penting direalisasikan. Ada kalanya film cerdas tak melulu tentang visual yang meriah, akan tetapi konsekuensi dari film itulah yang barangkali menjadi bahan refleksi perseptif bagi para kritikus film, sineas lain, maupun juga kaum terpelajar dan seluruh umat manusia.

Kepustakaan:

Sutadi, Heru. 2009. Sejarah Perkembangan Film Indonesia. perfilman.perpusnas.go.id

Lai, Jason. 2016. Jatuhnya Suharto dan Perubahan Industri Film Indonesia. bbc.com

Paramita, Dyah. 2017. Refleksi Perkembangan Perfilman Indonesia. detik.com

--

--

Kresna Adetea
Kresna Adetea

No responses yet