Menulis Puisi, Perihal Mengutarakan Sekaligus Melupakan
atau Menyisir Kenangan sebagai Jalan Cerita
BAGI sebagian orang seperti saya, yang sedang menempuh studi sastra dan sejenisnya, memang menganggap puisi sebagai sebuah karya tulis yang memiliki nilai objektivitas akademis yang begitu vital, bersanding dengan prosa dan drama. Menyusun kata demi kata sedemikan rupa rimanya, berkonsep dan terkadang pilih-kasih di tiap proses kontemplatifnya. Puisi adalah sebuah evolusi “menyuarakan kegundahan” yang menarik bagi penikmatnya, tak terkecuali seperti saya, orang baru dan telanjang yang ingin belajar bagaimana cara menulis puisi melalui cara yang baik dan benar.
Memang tidak ada disiplin ilmu pasti yang berhasil mengajarkan dan menjadi alat panduan untuk bagaimana cara menyusun kata-kata. Yang sedikit saya tahu, adalah bagaimana pencarian, perumusan, pemutakhiran, dan penciptaan puisi itu ada pada proses petualangan empiris dan spiritual seorang penyair.
Lantas saya dengan sedikit belajar dan banyak polahnya mencoba menulis. Sialnya, justru menghasilkan satu buah puisi yang saya beri judul:
Anastesi
suaramu menggema di tidurku
meletup-letup
seperti balon yang sampai pada ujung tiupan, hatimu yang sesak oleh tipuansuaramu menyelinap di lengang lapang ranjang
menciptakan keramaian di kepalaku
deham sesekali kau kirimkan
ke ujung daun telingaku yang membirudi mimpiku, kau adalah rusa yang melompat dari sungai hingga ke danau
kau adalah rintihan hujan yang meminta untuk segera dipulangkan“kau sungguh-sungguh berhasil membuatku lumpuh”
sungguh nyaring suaramu, andai saja api itu bisa kupadamkan lebih dulu
pukul empat dua puluh
di sisa kunjungan, suaramu semakin utuhpulanglah, tak akan pernah ada hati yang sepenuhnya sembuh
Cukup miskin memang diksi-diksi yang kerap muncul dari puisi saya di atas. Menandakan kurangnya wawasan saya dalam pemilihan serta pemilahan kata yang acap kali diperoleh dengan banyak membaca, merenung, atau bahkan dengan sengaja menyumpit kata indah pada sajak-sajak lawas.
Saya sendiri tentu menyadari hal tersebut. Tapi sebagaimana manusia yang waras, saya tentu ingin memulainya dengan hal yang berkesan. Maklum saja saat itu masih prototipe dan minim referensi. Saya percaya, proses itu tahu diri. Dengan lebih banyak membaca buku — mungkin saja — keniscayaan itu akan membentuk pribadi saya menjadi lebih bijaksana, peka, dan selektif memakai kata.
Mengutarakan Nasib ataukah Melupakan Pahit
Mengenal puisi sudah saya lakoni sedari ingusan dulu, tepatnya saat menapaki di jenjang sekolah dasar — kelas enam kala itu. Baru mengenal saja, belum akrab apalagi tahu lebih dalam perihal puisi dan teori penunjangnya. Sepaham-sependek pengetahuan saya saat itu hanya sebatas rentetan kata-kata yang disusun dengan indah. Pula orientasinya yang masih saja berkelindan seputar rima dan suku kata.
Benar-benar mengenal dan berteman dengan puisi adalah di mana saat saya menyandang status sebagai mahasiswa. Terlebih saya memilih — dengan doa dan keberuntungan — jurusan Sastra Indonesia, yang kental akan nuansa literasi dan semangat kubu “kanan kirinya”. Dimulai dengan mengakrabi pionir dan tokoh-tokoh kaliber dalam sejarah puisi, seperti: Chairil Anwar, W.S. Rendra, Taufiq Ismail, Goenawan Muhammad, dan masih banyak lagi sehingga luput saya gerayangi. Tak lupa penyair muda, cerdik, liris, melankromatik — penggabungan melankolis dan karismatik — seperti Mas Aan Mansyur, idola saya.
Kepiawaiannya dalam mengolah kata amatlah sensitif. Misalnya saya ambil kutipan kalimat dari salah satu puisinya:
“kau yang panas di kening, kau yang dingin di kenang.”
Tentu sudah jadi barang yang maklum ketika penyair kondang seperti Mas Aan mencipta kata-kata yang magis seperti itu. Tapi bagi saya, untuk saya yang masih terbata-bata akan referensi, kalimat itu sudah cukup melambungkan interpretasi di kepala. Sesederhanakah puisi itu menyita perhatianmu? Kaitan sintaksis yang timbul antara panas-kening dan dingin-kenang seolah menjadi bukti bahwa menjalin kata di puisi tak melulu perihal makna mana yang paling substansial sehingga pembaca kadang kelimpungan memahami maksud puisi kita, namun Mas Aan disana lebih bereksperimen tentang bagaimana puisi itu dicipta dari kemewahan semesta fonologis yang sebetulnya amat sederhana.
Lalu singkat kesempatan berlanjut dengan membeli buku-buku kumpulan puisi dan berakhir dengan membuat sebuah karangan puisi yang begitu pretensius tadi— jauh dari angan-angan solid dan penuh kepura-puraan.
Aftermath
Terkesan tak mensyukuri nikmat Tuhan jikalau saya saat itu tidak meneruskan dan memutuskan untuk mengambil kuliah jurusan sastra. Saya percaya Tuhan adalah sutradara paling arif di jagad ini. Sebagai karakter utama, saya cukupkan untuk sekadar menghayati adegan demi adegan yang telah termaktub dalam takdir. Dengan menjadi mahasiswa sastra yang kelak dapat bergaul dengan rumitnya memahami dan mengutuki diri sendiri pada puisi-puisi di kemudian hari.
Selamat untuk segala pilihan. Sukses untuk semua nasib.
Epilog setelah penuntasan,
“Puisi yang baik, titip sapa untuk berjuta-juta kata yang belum sempat ku ketahui keberadaannya. Mampirlah sesekali ke kepala ini, agar nantinya, kata dan kita abadi di jantung pesan ini.”