Melipur dengan Si Musang Emas
dan Menertawakan Kesialan Orang-orang
BELAJAR dari buku Paman Yusi yang sebelumnya — Rumah Kopi Singa Tertawa, di dalam Muslihat Musang Emas ini saya harus mempersiapkan pikiran yang waras dan komprehensif untuk setidaknya mampu menyelami dua puluh satu cerita anyar miliknya. Dari apa yang saya tangkap usai merampungkannya, cerita-cerita di Muslihat Musang Emas lebih intim dengan tema-tema yang serupa. Bagaimana manusia yang bertekuk lutut akan takdir, nasib sial, dan sejauh mana mereka rela berupaya untuk keluar dari situasi yang pelik. Menariknya, Paman Yusi mampu mewujudkan tema ini melalui berbagai macam tokoh yang kontras dan tentunya unpredictable. Sebut saja anak dari hubungan sungsang di cerpen Saṃsāra, perampok kelas kakap di Alfion, pemuda yang gemar dengan palindrom di b.u.d, komika di Benalu Tak Pernah Lucu hingga orang cebol di cerpen pungkasnya Pak Pendek Anggur Orang Tua Terakhir di Dunia. Tak berhenti di situ, di sini Paman Yusi juga mencoba segala macam sudut pandang cerita; dari yang pertama, kedua, maupun ketiga. Begitu bermaslahat, eksploratif, dan membuka celah khazanah dari problematika yang ada.
Hal lain yang saya sukai dari buku ini adalah bagaimana Paman Yusi berhasil membuat wajah cerita-cerita di dalamnya terasa begitu intim dan menjamah sisi gelap kemanusiaan. Dia berhasil membuat saya merasakan kengerian berpetualang sampai Afghanistan — hampir menjadi teroris, misalnya. Atau saat dia berhasil membuat saya memakai sepatu seorang remaja yang doyan minum cairan sperma hanya untuk memperoleh kemampuan intelektual yang semu. Atau saat dia berhasil membuat saya tertegun dengan orang cebol yang bercinta dengan gadis sirkus kembar siam. Sensitif, imajinatif, dan kelam — kalau boleh dibilang begitu.
Bicara tentang cerpen terbaik di hati, jujur saja saya sangat direpotkan, karena di sini surganya cerita-cerita unik dan baru dari Paman Yusi. Paling tidak, ada satu cerpen yang paling membuat saya khidmat dalam mengarungi alur cerita, yaitu Saṃsāra. Cerpen yang dimuat dalam dua puluh halaman itu membuat saya menyadari betapa pentingnya peran dan cinta keluarga dalam proses perjalanan mencari jatidiri. Tempat kedua di hati saya diisi oleh cerpen b.u.d. Betapa kagetnya saya melihat fakta bahwa ada sebuah palindromik berbentuk satu paragraf utuh. Ketiga, ditempati cerpen pungkas Paman Yusi, Pak Pendek Anggur Orang Tua Terakhir di Dunia. Cukup saya akui cerpen yang satu ini memang gila, tetapi masih dalam porsi yang wajar saat coba mengeksplorasi ketidakwarasan tokoh-tokohnya.
Akhir frasa, saya merekomendasikan buku ini agar dibaca semua orang, terutama untuk orang yang masih skeptis dengan karya-karya Sastra Indonesia. Apabila kamu malah berakhir tidak menyukainya, kamu boleh sekali ngomel ke saya, meski saya yakin kamu malah tambah sayang.