Media Sosial dalam Integritas Pemberitaan
dan Produk (Pengantar) Jurnalistik
BERANGKAT dari sebuah konsep tabayyun yang menggiring para lakon media untuk tetap kritis dan berlaku eviden dalam setiap penyampaian informasinya. Konsep itu jelas erat kaitannya dengan media sosial yang disebut sebagai wadah untuk menyalurkan segala macam bentuk aspirasi maupun interaksi sosial. Dari masifnya glorifikasi masyarakat terhadap media sosial sebagai alat demokrasi yang independen dan non-hierarkis. Media sosial seolah menjadi anti-tesis terhadap kebanyakan media korporasi(1) yang di era pembangunan ini gagal memandu warga internet untuk berdaulat dalam demokrasi.
Meninjau dari poin yang menyebutkan bahwa media sosial adalah media yang bersifat independen. Didefinisikan bahwa kemandirian menyusun pelbagai hal dengan sendiri dan kemampuan mengelolanya dengan konsisten dan kebal akan intervensi dari faktor sosial dan politik, media sosial telah gagal menjalankan peran ini. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan contoh berupa: apapun yang dibicarakan orang di media sosial adalah apa yang diberitakan oleh media korporasi.
Artinya, media sosial bukan saja gagal dalam menerapkan sifat independensinya tersebut sebab ditentukan oleh media korporasi, pun juga gagal dalam menjalankan gayanya sendiri. Merlyna Lim mengatakan bahwa media sosial tertanam dalam sistem kontrol, kekuasaan, dan dominasi media yang lebih besar. Dengan begitu sama saja pengguna media sosial yang seolah berkuasa atas apa yang mereka punya, ternyata serupa dengan bayi yang sengaja dipilihkan jenis mainan dan waktu bermainnya secara periodik oleh pengasuhnya.
Berkaca kepada poin kedua yang mengungkapkan media sosial memiliki sifat non-hierarkis yang artinya adanya kesetaraan dalam memproduksi, mendistribusi, dan berinteraksi mengenai konten antarpelaku komunikasi. Argumen seperti itu lah yang sesungguhnya harus ditahan terlebih dahulu sebelum bagaimana andil kekuasaan aktor sosial memainkan perannya dalam medan tersebut. Buktinya masih banyak ditemui budaya ‘patronisme’ di media sosial. Misalnya, di mana ada orang kenamaan di media sosial memiliki pengaruh yang jauh lebih besar daripada pengguna media sosial pada umumnya dalam menyematkan sebuah isu publik. Ditambah lagi tingkat validitas orang terhadap berita atau informasi bergantung dari ‘harkat selebritas’ — atau mudah saja dikatakan ‘jumlah pengikut’ — mereka yang menyebarkan informasi.
Maka dari itulah, ada yang perlu dicatat mengenai persoalan infrastruktur internet yang tak merata sebagai penyebab terjadinya kepincangan peluang. Serta menekankan pula aspek ekonomi, sosial, politik, dan budaya masyarakat yang berada pada tepian diskursus nasional, yang sudah lama terpinggirkan karena rumornya tak pernah dianggap relevan. Lantaran sejatinya struktur sosial di media sosial merupakan cerminan struktur sosial yang sesungguhnya.
Roy Thaniago juga pernah mengatakan bahwa kekurangan-kelemahan yang ada dalam media sosial dapat dibaca sebagai berikut: Pertama, bahwa kehadiran media sosial tidaklah otomatis membawa perubahan, khususnya bagi kelompok masyarakat yang berada dalam lapisan terbawah dan jarang memiliki ruang untuk menyuarakan pendapatnya. Kedua, bahwa media sosial punya bias karena ia tidak pernah menjadi medium yang netral, melainkan selalu menjadi medan pertempuran antarkelompok yang saling memperebutkan makna dan kekuasaan. Ketiga, bahwa penduduk digital tidak sepenuhnya berdaulat atau bahkan tidak menyadari bahwa kesadaran dan tindakan yang mereka lakukan sebagai radiasi dari kerja media korporasi.
Pentingnya memeriksa peran dan keterkaitan antarpelaku komunikasi di dalam pembicaraan publik yang sudah ada, yang secara umumnya didominasi oleh para elite seperti politikus, pejabat, media owner, wartawan, aktivis, buzzer, hingga selebritas di media sosial. Soal inilah yang meyakinkan bahwa media korporasi tetap merupakan dalang utama dalam aksinya yang menyodorkan agenda perbincangan publik. Bagaimanapun ortodoksnya seseorang mengagung-agungkan media sosial, kekuatan media korporasi tetaplah yang mengoridorkan sebuah topik pembicaraan. Dalam prinsip utama yang malangnya hanya bersandar pada logika pasar, media korporasi juga tentu punya refleksi tentang kepada ‘siapa’ kerja mereka diarahkan.
Integritas Media Sosial
Publik baru saja disuguhkan oleh media tentang pemberitaan atas kejadian meletusnya Gunung Agung di Bali pada bulan November 2017 kemarin. Banyak sekali media-media medioker hingga mayor yang silih berganti memberitakan tentang kejadian tersebut. Mengingat poin yang telah dipaparkan di atas, bahwa media sosial seakan-akan telah disetir untuk menjalankan kepentingan media korporasi. Hampir seluruh pemberitaan yang ada di media lebih mengarusutamakan pemberitaan mengenai jasa penerbangan yang terganggu dan beberapa pembatalan perjalanan orang-orang daripada pemberitaan terkait korban bencana, kesigapan pemerintah, atau proses distribusi bantuan. Dalam kasus ini, media lebih melayani pengguna jasa transportasi pesawat ketimbang mobilitas pemerintah dalam menanggapi kejadian di Gunung Agung. Dapat ditarik spekulasi bahwa media sosial — khususnya media berita — dalam kasus tersebut merupakan penyampaian aspirasi dari kelompok ‘yang mana’ dan mengingat topik yang disajikan media berupa bencana alam bukan wacana editorial.
Contoh lain ketika ada pemberitaan tentang buruh, yang bagaimana media lebih fokus mengorek pada perspektif di luar subjek pemberitaan buruh. Dalih memberikan ruang untuk mengerti dan paham tentang problematika dan tuntutan para buruh, media lebih terpusat kepada masalah kemacetan dan sampah yang dihasilkan dari aksi buruh. Tak jarang media juga memainkan bahasa-bahasa yang hiperbolis sehingga membuat tuntutan buruh seolah menjadi bahan guyonan di media sosial. Dengan penekanan terhadap kasus tersebut, aspirasi dari mana lagi yang diutamakan media, sebab sejatinya banyak data-data faktual yang kerap kali dijungkirbalikkan demi kepentingan media korporasi.
Dari penjelasan di atas dapat ditarik konklusi bahwa dalam beberapa kasus, media korporasi dan wartawan kerap mewakili aspirasi dari ‘kelas menengah’. Itulah kenapa media telah gagal menjadi institusi dan profesi yang mewakili dan memfilter aspirasi yang beragam dari pelbagai kelompok dan jenis keperluan. Pada dasarnya menurut Kovach, loyalitas wartawan adalah kepada warga, bukan semata kepada warga kelas menengah saja. Apabila kritik kepada media primordial(2) sering ditujukan pada kegagalannya merepresentasikan hal mendasar, maka dalam konteks budaya digital, media justru melangkah lebih payah — intoleran, menganggap hal yang mendasar itu tidak ada. Media korporasi memang memiliki keterbatasan dalam pelayanan terhadap aspirasi dari banyak kelompok. Namun dari sanalah keterbatasan tersebut mampu dilihat sebagai figurasi keberpihakan media.
Proses kerja media korporasi seperti itulah yang secara tidak langsung mengonstruksi watak media sosial dan pemakainya. Kuatnya dukungan publik terhadap kasus perundungan salah satu mahasiswa di Universitas Gunadarma dan lemahnya dukungan pada kasus Kulon Progo misalnya, bukan hanya memperlihatkan kedua contoh tersebut sebagai maklumat warga internet mengartikan ‘sesama’ — seorang mahasiswa berkebutuhan khusus yang mengalami perundungan oleh teman sebayanya adalah aspirasi dari kalangan kelas menengah yang bisa dialami kapanpun — dan ‘bukan sesama’ — petani yang lahannya digusur paksa karena akan dijadikan bandara internasional bukan represi nyata dan rutin yang menghantui kalangan kelas menengah, tetapi juga andil dari media korporasi menganaktirikan yang bukan ‘mereka’.
Ketatnya otoritas media korporasi dalam mengalamatkan pembicaraan, pertentangan, dan isu sentimentil di media sosial, sebab itu sejatinya terlalu dini untuk menepikan dugaan terburuk semata kepada kelas menengah — kelas yang impulsif politiknya terninabobokan selama lebih dari seperempat abad berkuasanya Orde Baru. Lihainya melihat media korporasi bermain dalam medan-medan jurnalistik, membuat kita sering gagal mencerna masalah problematis seperti ini secara fungsional. Mengingat telah menjamurnya tren di masyarakat yang tidak bisa lepas dari gawai canggih mereka disertai dengan begitu cepatnya arus lalu lintas informasi yang ada di media sosial, lagi-lagi mengevaluasi kita untuk dapat kembali memegang konsep dan prinsip tabayyun dalam bertindak. Dimana kita perlu mengolah, menggali, meriset ulang, mencari lagi lebih banyak referensi — yang valid tentunya — terkait pemberitaan apa saja yang sedang diperdebatkan di media sosial.
Jadi, pantaskah media sosial menjadi wadah dari media pemberitaan?
Kepustakaan:
Kovach, Bill & Rosenstiel, Tom. 2006. 9 Elemen Jurnalisme. Pantau: Jakarta.
Lim, Merlyna. 2013. Many Clicks but Little Sticks: Social Media Activism in Indonesia. Journal of Contemporary Asia.
Thaniago, Roy. 2016. Media Sosial dan Kemenangan Kelas Menengah. Indoprogress.com.
[1] Media yang dikontrol dan dibiayai oleh perusahaan dan pemiliknya. Dalam konteks lain ada pula yang menyebutkannya sebagai ‘Konglomerasi Media’.
[2] Penyebutan yang lebih ilmiah dan cukup menarik untuk frasa ‘media tradisional’.