Masyarakat Lembaga Sensi

dan Kucumbu Tubuh Indahku

Kresna Adetea
4 min readJul 3, 2019
Fourcolours Films

LOGIKA umum bahwa semakin beragam ketersediaan tontonan yang beredar di publik, semakin terbuka pula masyarakatnya menyikapi segala bentuk perbedaan dan kebaruan nampaknya tidak akan pernah masuk akal bagi industri perfilman di Indonesia. Berkaca pada kondisi tersebut, sudah barang tentu pergerakan dan mobilitas film sebagai wacana demokratis akan mengalami dekadensi.

Tentunya dalam hal ini film bukan hanya dipandang sebagai seni visual dari pelbagai lini produksi, tapi juga sebagai medium pertukaran gagasan, ideologi, maupun pengalaman. Film menjadi manifestasi dari opini dan aspirasi masyarakat. Mengingat penduduk Indonesia yang teramat majemuk dalam segi budaya, sosial, kelas, pandangan hingga kepercayaan, keragaman inilah yang jelas menjadi agenda yang perlu disorot perfilman tanah air.

Peran film sebagai seni kolaboratif yang memberikan ruang kontemplasi bagi penonton belum mampu hadir secara utuh dan berdaulat di kalangan umum penikmat film Indonesia. Sikap preventif yang ditunjukkan dalam mereaksi sebuah film terkadang menjadi antitesis terhadap idealisme sutradara untuk mengejawantahkan pusparagam gagasan yang dibawa. Sulit untuk ditampik ketika kita berbicara keragaman film atau ketersediaan tontonan yang berlimpah sementara masyarakat-filmnya masih saja merasa skeptis dan judgemental pada isu minor yang menurutnya menjadi “ancaman” pada tatanan norma yang telah berlangsung.

Dalih memberikan ruang bagi film untuk sedikit bernapas lebih lama di bioskop, tidak sedikit orang yang sentimen justru melakukan bentuk protes agar film Kucumbu Tubuh Indahku turun layar dan berhenti peredarannya. Film garapan sutradara Garin Nugroho itu mendapatkan persekusi melalui sebuah petisi yang berisi penolakan tentang film yang sarat akan muatan LGBT. Dalam petisi yang digalang oleh Rakhmi Mashita tersebut mengajak seratus lima puluh ribu partisipan untuk turut mendukungnya dalam aksi penolakan penyebarluasan film Kucumbu Tubuh Indahku. Entah peran apa yang menginisiasi terciptanya petisi yang premis tujuannya bersifat penghakiman, secara praktis, konstruksi sikap seperti itulah yang mengakibatkan film lepas dari peran dan fungsinya sebagai alat demokrasi — bebas dan berdaulat dalam penyampaiannya.

Supremasi Masyarakat Film Pascareformasi

Perangkat negara seolah tak pernah absen ikut serta mendampingi geliat perfilman tanah air. Sensor, limitasi, penolakan dan pemberangusan seolah menjadi hal yang akrab di telinga masyarakat ketika itu. Dahulu di masa kolonial, perangkat itu bernama Komisi Sensor Film. Namun ketika Soeharto beserta kroninya berkuasa, ia lahir dengan nama Badan Sensor Film hingga tahun 1994 berganti nama menjadi Lembaga Sensor Film sampai sekarang. Sangat disesalkan tatkala nama saja yang berganti, sedangkan hakikat dan logika kerja tidak pernah berevolusi: beranggapan bahwa penonton adalah kaum pilon, lemah intelektual dan gampang terprovokasi. Atas dasar pemikiran itu, negara merasa wajib menuntun penonton dalam beradab dan berbudaya.

Setelah campur tangan rezim dalam mendikte orientasi perfilman kita menjadi begitu dangkal, era pascareformasi menjadi titik terang kebangkitan industri perfilman di Indonesia. Mulai banyak film yang berani mengeksplorasi topik dan tema baru yang sebelumnya tidak akan pernah luput dari kejaran sensor, termasuk persoalan gender dan seksualitas. Kuldesak merupakan film pionir bertema ekspresi gender kala itu. Film omnibus yang diproduksi tahun 1998 secara gerilya oleh empat sutradara — Mirles, Nan Achnas, Riri Riza, Rizal Mantovani — tersebut memberikan skup yang menarik tentang ketidakberdayaan karakter laki-laki di bawah bayang-bayang norma maskulin. Di mana saat itu dengan ideologi yang menjamur menerangkan bahwa laki-laki selalu diasosiasikan dengan kekuasaan, kekuatan, dan hal patriotik. Film Kuldesak lewat narasi gender memuat pesan penolakan terhadap kultur maskulinitas dalam industri film.

Jika pascareformasi membuka pintu atas keberagaman tema film yang kian berani. Pintu itu dewasa ini semakin lama semakin menutup. Peluang kebebasan memungkinkan hadirnya suara kaum minoritas ternyata memberikan pula ruang yang sama terhadap pandangan religius yang cenderung konservatif. Film yang menyoal identitas gender dan teka-teki seksualitas semakin dilumat oleh persepsi lawas dimana kebaruan tidak pernah menawarkan apa pun, bahkan payahnya lagi menganggapnya sebagai buah ancaman yang terus menerus perlu diperangi. Pengaruh pandangan konservatif dalam menyikapi bentuk kebudayaan populer seperti film secara perlahan membangun pola pikir masyarakat menjadi pesimis dan sangsi untuk memahami bentuk pemikiran lain. Cara pandang yang primitif itu seakan bangkit lagi setelah terkubur selama kurang lebih dua dekade terakhir.

Asumsi bahwa semakin terbukanya eksplorasi film semakin besar pula realitas sosial-budaya yang tergambarkan justru menciptakan lubang baru. Lubang di mana masyarakat-filmnya menjadi lebih arogan dan sentimen dalam melakukan penghakiman kepada film — dan sutradara — tanpa adanya proses dialog yang komprehensif. Petisi bernada penolakan yang digaungkan terhadap film Kucumbu Tubuh Indahku merupakan representasi dari lemahnya daya tangkap, minimnya wawasan sudut pandang dan eksistensi konservatif religius. Peran perangkat negara seperti lembaga sensor agaknya menjadi kurang esensial lagi ketika kelompok yang menyebut diri mereka “berakhlak” dan “berbudaya” tadi mampu membunuh proyeksi gagasan dan menumpulkan kesempatan industri film tanah air untuk merekam keberagaman.

Film seperti Kucumbu Tubuh Indahku sudah sepantasnya hadir mengisi diskusi gender serta persoalan ketimpangan budaya yang ada. Bias dalam tafsir tentu barangmungkin konsekuensi yang perlu disiasati oleh pelaku sinema dan kita semua. Sajian layaknya film mampu berjalan tanpa kemudi, ia bebas dan multiarti. Sebagaimana produk film membawa gagasan dan aspirasi, masyarakat-film barangkali sepakat maupun tidak sama sekali. Jika timbul ruang kontradiksi dalam proses reaksi film, lebih etis jika menghakimi film dalam format diskusi, bukan persekusi maupun petisi.

Simak trailernya di sini.

--

--

Kresna Adetea
Kresna Adetea

No responses yet