Blackbox
Agama bukan sekadar ritual dan tata cara. Ada makna di balik ritual dan tata cara itu. ― Yann Martel, Life of Pi
BELAKANGAN ini saya kerap kali dijuruskan oleh berita maupun tulisan bebas di media sosial dengan polemik yang ada di Indonesia sendiri bisa dikatakan sangatlah sensitif untuk dijadikan topik pembicaraan. Benar sekali, apalagi kalo bukan tentang agama. Mulai dari tuduhan kasus yang paling heboh perihal penistaan makna salah satu ayat suci oleh pejabat publik di Jakarta sampai yang baru-baru ini ramai diperbincangkan oleh warganet, khususnya pengguna jejaring media sosial, tentang wacana pemblokiran salah satu platform media sosial bernama Telegram. Usut punya usut, aplikasi tersebut ditengarai sebagai forum yang digunakan untuk tempat berkomunikasi para penganut paham radikal, atau kalau saya biasa menyebutnya kaum jihadis. Pihak Menkominfo sendiri sebagai lembaga pemerintah yang berwenang dan bertanggung jawab mengenai segala piranti dunia internet di Indonesia, tentunya tidak tinggal diam mendengar desas-desus berita tersebut. Melalui dorongan dari warganet dan tekad yang bulat, akhirnya Menkominfo mengambil langkah tegas dengan memblokir segenap Telegram dan domain-domain yang berhubungan dengannya. Namun anehnya, sampai sekarang aplikasi Telegram versi android masih bisa dan bebas, bahkan gratis diunduh lewat Playstore di Indonesia. Bahkan saya masih bisa berkirim gambar dan bertukar kabar dengan teman saya. Untuk versi lainnya — iOS dan Windows Phone — silakan Anda cek sendiri, siapa tahu juga masih sanggup diakses.
Lusa lalu, saya menjumpai tulisan yang sedikit menggelitik kepala saya di Facebook. Bukan tentang lelucon jomblo yang sudah uzur umurnya, apalagi guyonan receh dari grup WhatsApp keluarga yang luar biasa garingnya. Melainkan tulisan yang bisa diasumsikan sebagai sindiran terhadap toleransi beragama serta proyeksi umat beragama melalui benda-benda yang dianggap suci.
“Masih banyak orang muslim yang gak paham, dianggapnya agama lain menyembah patung. Padahal, orang Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, berdoa kepada Tuhan mereka, bukan patung yang hanya dipakai sebagai perantara doa mereka kepada Tuhan. Lha apa mau kalau kita dikatain balik, ‘Tuhan kok blackbox?’.”
Tulis seseorang yang berinisial AP pada status Facebook-nya.
Pada tulisan tersebut, pembuat status mencoba meluruskan stereotip kebanyakan orang muslim yang menganggap bahwa agama lain itu menyembah patung, yang pada kenyataannya mereka juga pada dasarnya sama dengan orang muslim, menyembah dan berdoa kepada Tuhan mereka masing-masing, bukan melalui perantara patung atau sejenisnya. Mungkin Anda sendiri bingung dengan maksud tulisan tersebut. Sayapun juga bingung awalnya, terlebih pada frasa Tuhan kok blackbox. Yang saya tahu, blackbox itu lazimnya berada di pesawat, ini kok bisa jadi Tuhan. Setelah saya digerayangi rasa penasaran dan sedikit explore di kolom komentar yang hampir menyentuh angka dua ratus komentar pada saat itu dan terbilang masif untuk ukuran status pribadi, ternyata maksud dari frasa tersebut yaitu kurang lebih, Tuhan kok Kakbah. Kaget bukan kepalang saya setelah tahu maksudnya. Pasti orang muslim lainnya juga sama seperti saya, atau saya saja yang terlalu berlebihan. Di lain sisi, tulisan tersebut menjadi kritik yang satire terhadap kita khususnya orang muslim yang masih berpikiran restriktif— bisa terlihat ketika selesai membaca tulisan ini. Dilihat dari bentuk dan warna, julukan blackbox sendiri memang akurat jika merepresentasikan kata Kakbah yang mempunyai bentuk kubus dan berwarna hitam. Tentunya orang muslim tidak terima jika dikatakan Tuhan mereka adalah Kakbah — agama lain pun sama kiranya.
Banyak saya temukan sanggahan, kritik, dan lebih buruknya cacian pada kolom komentar tulisan tersebut. Lucunya, saya juga temukan komentar unik seperti ini.
“Orang yang bener-bener ngerti ga akan komen disini, pasti dia bakal diem aja”
Kalau demikian, saya seharusnya dikategorikan sebagai orang yang mengerti dan paham, karena saya tidak mengomentari tulisan tersebut — yang sebetulnya kebingungan ke sana kemari mencari maknanya, bukan mencari alamat seperti pedangdut Ayu Tingting.
Sementara itu, kritik yang paling banyak diutarakan adalah tentang kesalahpahaman menjadikan Kakbah sebagai Tuhan. Dalam agama Islam sendiri Kakbah bukanlah alat untuk disembah apalagi dituhankan. Menurut penalaran saya sebagai orang muslim, Kakbah sendiri hanyalah patokan untuk arah melakukan kegiatan ibadah salat, bukan sebagai Tuhan yang disembah, bangunannya juga hanya ada satu di dunia ini untuk seluruh umat Islam. Sebagai hadiah atas kerja keras Nabi Ibrahim A.S. yang telah membangunnya, maka dijadikanlah Kakbah sebagai kiblat salat umat Islam.
Sudah bisa ditarik sebuah konklusi bahwa maksud pembuat status tersebut setelah pembahasan di atas. Di mana setiap benda yang dipercayai sebagai salah satu semafor (lambang) kesucian sebuah agama mempunyai tendensi dan parafrasanya masing-masing yang hanya dipahami oleh masyarakat pemeluknya. Buruk baiknya sama untuk semua agama seperti itu, jadi tidak ada lagi anggapan bahwa agama lain menyembah patung, berdoa kepada patung. Itu salah besar. Menurut saya, bentuk silogisme dari kepercayaan umat beragama berupa patung dan sejenisnya hanyalah pemerkuat dan pembuktian eksistensi kepercayaan seseorang kepada agamanya. Tak ubahnya dengan kondisi ketika sebuah hiasan kaligrafi terpampang menghiasi dekorasi rumah orang muslim.
Kita selayaknya hidup berdampingan satu sama lain, sudah menjadi hal yang wajib bagi kita untuk saling menjaga toleransi antar umat beragama. Cukup memberikan kebahagiaan dan kenyamanan pada orang lain di sekitar kita, untuk urusan benar atau salahnya tindakan orang lain biarlah diri kita sendiri saja yang menilai dan tidak perlu terlalu lantang bahwa yang ini benar dan yang itu salah. Pada dasarnya umat beragama di dunia secara fundamental diajarkan untuk memelihara yang damai dan merawat kasih sayang.